Welcome To FadlyFadillah's Site

Kamis, 09 Juni 2011

PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

PENYELESAIAN SENGKETA
DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

Penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan adalah topik kajian yang
cukup penting. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan keuangan suatu
negara, topik bahasan ini bahkan menjadi relevan. Dalam beberapa kesempatan, penulis
mengemukakan terdapat kaitan erat antara penyelesaian sengketa dengan iklim ekonomi
dan keuangan di tanah air.1
Tulisan ini berupaya memenuhi terms of reference Loka Karya Pembangunan
Hukum Nasional VIII mengenai topik, substansi dan sasaran masalah-masalah bidang
ekuin. Kajian terfokus ke dalam tiga bagian, yaitu sarana penyelesaian sengketa. Bagian
kedua mengupas masalah-masalah yang ditemui. Kajian akan melihat masalah kepastian
hukum dan pemahaman aparat penegak hukun terhadap instrumen-instrumen hukum di
tanah air.
Selanjutnya, bahasan ketiga menekankan aspek-aspek hukum yang dapat
menunjang terlaksananya penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan.
Dalam ketiga kajian tersebut, tinjauan terhadap lembaga arbitrase akan mendapat
tempat yang sedikit lebih banyak. Uraian dalam tulisan inipun dibatasi hanya kepada
penyelesaian sengketa di bidang sengketa bisnis (ekonomi dan keuangan). Penyelesaian
sengketa di luar bidang itu tidak disentuh.
Kesimpulan tulisan ini menegaskan kembali pendapat alm. Prof. Komar
Kantaatmadja, bahwa efektivitas penyelesaian sengketa sangat bergantung pada budaya
hukum masyarakat dalam berperkara.2 Mengingat masih kentalnya budaya hukum ini,
penulis menyimpulkan cara terbaik untuk penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan
keuangan ini adalah menghindari atau mencegah timbulnya sengketa.

A. SARANA
Sarana yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi dan
keuangan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara. Pertama, negosiasi atau alternatif
sengketa (ADR); kedua, arbitrase;dan ketiga melalui lembaga peradilan.

* Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. S1 (SH, Unpad), S2 (LLM, Sheffield), S3
(PhD, Singapore).
1 Lihat misalnya, Huala Adolf, “Beberapa Catatan tentang Arbitrase dalam Millenium Baru”, dalam
Hendermin Djarab, et.al.. Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
2001. hlm. 76. (Dalam tulisan ini penulis mengemukakan ada hubungan erat antara arbitrase dan
penanaman modal asing).
2 Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia” dalam Hendermin
Djarab, et.al., op.cit.. hlm. 96.

1. NEGOSIASI dan ADR
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang
sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di
bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose
tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang
yang memuaskan para pihak.
Menurut hemat penulis, cara penyelesaian sengketa ini sangat cocok untuk
masyarakat bisnis Indonesia. Mayoritas pengusaha Indonesia adalah pengusaha kecil
dan menengah. Pada umumnya mereka tidak terlalu mereka pedulikan kontrak dengan
seksama. Umumnya kalau mereka menandatangani kontrak, mereka kurang begitu peduli
terhadap bunyi klausul-klausul dalam kontrak. Yang penting mereka ada transaksi bisnis.
Dalam benak mereka, cukuplah bagaimana melaksanakan transaksi tersebut.
Mind-set seperti ini terbawa pula ketika ternyata kemudian sengketa mengenai
kontrak lahir. Mereka kurang peduli dengan apa yang ada dalam klausul kontrak. Kalau
ada sengketa, mereka upayakan menyelesaikannya secara baik-baik, secara
kekeluargaan.


2. ARBITRASE
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan
pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul
arbitrase dalam kontrak mereka.
Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer.
Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.3
Tantangan ke masa depan adalah tantangan untuk membuktikan masing-masing
badan penyelesaian sengketa ini. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan badan-badan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah kualitas para arbitratornya. Bagaimana
pun juga, kualitas suatu badan arbitrase akan sangat banyak dipengaruhi oleh kualitas
para arbitratornya.

3. PENGADILAN
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih
adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan.4 Pengusaha
atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan
dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat
umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap
polisi, jaksa, atau pengacara.
3 Komar Kantaatmadja. op.eit., hlm. 44-45 (Beliau mencantumkan pula Pusat Penyelesaian Perselisihan
Bisnis Indonesia (P2BI) dan peran Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
4 Tidak termasuk dalam pembahasan tulisan ini kajian terhadap Pengadilan Niaga.
Dalam jaman krisis ekonomi yang terus berkepanjangan ini, masyarakat (begitupun
masyarakat internasional) masih melihat adanya ketidakpastian dalam proses berperkara
melalui pengadilan. Mereka melihat masih cukup banyak kasus nyata di mana putusan
pengadilan masih belum dapat memberi kepastian, rasa keadilan dan sejenisnya.
Ambil contohnya, kasus sendal jepit bolong, kasus whistle-blower, kasus BLBI, dll.
Putusan kasus sendal jepit bolong dan putusan kasus BLBI sedikit banyak telah
mengkerutkan kening masyarakat. Kok putusan pemakai sandal jepit bolong lebih berat
dibanding dengan putusan terhadap penyalahgunaan dana BLBI yang miliaran rupiah itu.
Harga sepasang sendal jepit bolong paling-paling seharga seribu atau dua ribu perak. Itu
pun kalau mau dihargakan dan ada yang mau beli.
Persepsi masyarakat awam dan pengusaha terhadap performance pengadilan
karenanya perlu ekstra hati-hati diperhatikan. Memang banyak hakim atau para penegak
hukum yang bersih dan lurus. Tetapi masyarakat lebih tertarik atau akan lebih melihat
hakim atau para penegak hukum yang tidak lurus, neko-neko atau korup. Pengadilan
yang bersih dari orang-orang seperti ini adalah tantangan terberat pengadilan dewasa ini.
Tantangan tidak kalah lainnya adalah profesionalisme hakim, termasuk di dalamnya
tingkat pengetahuan mereka terhadap perkembangan hukum yang sangat cepat. Ini
adalah masalah mutu SDM pengadilan. Perkembangan pengetahuan sebagai dampak
dari perkembangan teknologi, informasi, ekonomi dan keuangan telah banyak merubah
teori-teori hukum yang ada pada tahun 1970 atau 1980an. Misalnya, hukum ekonomi,
perbankan dan keuangan tidak semata-mata lagi mengatur hal-hal atau hubunganhubungan
yang bersifat fisik. Sekarang ada ecommerce, e-banking, dan mungkin bentukbentuk
electronic related business activities lainnya yang akan segera menyusul.
Bentuk-bentuk ini pun memberi warna terhadap sengketa-sengketa yang lahir.
Dalam beberapa tahun belakangan ini pengadilan menghadapi kasus-kasus yang relatif
baru. Sengketa mengenai domain name, hacking, pelanggaran merek di internet,
penipuan atau kejahatan yang terkait dengan penggunaan internet, seperti penipuan kartu
kredit dan sejenisnya, angka grafiknya bergerak ke atas. Hal ini menjadi indikasi kuat
bahwa pengadilan perlu menyikapinya dengan cara mempersiapkan diri termasuk
meningkatkan pengetahuannya guna mengantisipasi perkembangan yang teramat cepat
ini.
Selanjutnya adalah gejolak dan dampak globalisasi dan liberalisasi ekonomi
terhadap hukum nasional. Dalam hal ini yang menjadi tantangan adalah perlunya
pemahaman terhadap hukum bisnis atau ekonomi internasional. Termasuk di dalamnya
pemahaman terhadap berbagai konvensi atau perjanjian ekonomi, baik yang telah atau
belum diratifikasi atau perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi.
Perlu pula pemahaman terhadap aturan-aturan kebiasaan internasional yang
mengikat para pedagang. Perlu pula pemahaman mengenai status atau daya mengikat
aturan-aturan hukum ini serta daya mengikatnya aturan-aturan seperti itu terhadap para
pedagang (di tanah air).
Adanya pemahaman terhadap hal-hal tersebut di atas, masalah penerapan hukum
dan persepsi pengadilan terhadap aturan-aturan hukum internasional tersebut dapat lebih
membantu pengadilan dalam memberi putusan hukumnya yang lebih memenuhi
kepentingan dunia usaha.

B. PERMASALAHAN
Penulis melihat adanya 4 (empat) masalah sentral dalam penyelesaian sengketa di
bidang ekonomi dan keuangan.

a. Masalah Penghormatan Terhadap Hukum
Masalah ini adalah sangatlah sentral. Penaatan atau penghormatan terhadap hukum
masih sangat tipis. Penulis melihat mind-set masyarakat terhadap hukum ini harus
diubah secara bertahap, berhati-hati dan terencana. Telah cukup banyak upaya-upaya
akademis atau pengkajian dilakukan. Diperguruan tinggi atau BPHN, sudah banyak
lahir teori-teori mengenai bagaimana penghormatan terhadap hukum ini perlu
dilakukan.

b. Kepastian Hukum
Salah satu hal yang pasti mengenai hukum di Indonesia adalah ketidakpastian hukum.
Masalah ini gawat, kalau darurat. Kasus-kasus yang tergolong besar yang melibatkan
Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian
hukum ini. Sengketa-sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat
internasional, misalnya sengketa Karaha Bodas, antara lain, berawal dari
ketidakpastian hukum ini.

c. Kewenangan dan Putusan Badan Arbitrase
Masalah ini sebenarnya masalah lama. Tetapi masalah ini masih terus berlanjut,
Seakan-akan kontroversi mengenai masalah ini tiada hentinya. Dalam pernyataannya
yang termuat dalam web-site hukum online, Prof. Priyatna Abdurrasyid
mengemukakan bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia
tidak memahami arbitrase (sic!).5

d. Kultur Berperkara Masyarakat
Alm, Prof. Komar Kantaatmadja, melihat kultur masyarakat ini sebagai masalah cukup
krusial dalam penyelesaian sengketa. Beliau mengemukakan 4 (empat) masalah kultur
ini.
Dua di antaranya yang utama adalah keengganan untuk tidak mau melaksanakan
putusan arbitrase. Yang kedua adalah upaya untuk mengulur-ulur waktu sebagai taktik
untuk tidak melaksanakan kewajibannya.6
Penulis pun berpendapat bahwa sengketa-sengketa mengenai pembatalan putusanputusan
arbitrase asing (dan perlawanan terhadap putusan arbitrase domestik), yang
acap timbul belakangan ini, mungkin dapat dipandang ke dalam cakupan kultur ini .
5 http://www.hukumonline.com
6 Komar Kantaatmadja, op.cit.. hlm. 46-47

C. HUKUM YANG MENUNJANG
Sejak bulan Agustus 1999, angin baru datang ke tanah air. Pada waktu itu,
pemerintah mengeluarkan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini membawa dua angin segar. Pertama,
diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar
hukum bagi alternatif penyelesaian sengketa.
Meski cukup banyak kelemahan yang terdapat dalam UU arbitrase baru, namun
demikian aturan-aturan atau prinsip-prinsip dasar di dalamnya sudahlah termuat.7 Prinsip
kekuatan perjanjian arbitrase, kewenangan pengadilan, kebebasan para pihak, prinsip
severabilitas dan pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase sudah termuat di dalamnya.
Satu hal positif dalam UU tersebut adalah diaturnya ketentuan mengenai ADR (pasal
6). Pasal ini penting, ia meletakkan dasar hukum yang tegas bagi dimungkinkannya para
pihak untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan menggunakan cara-cara yang
mereka pilih.

D. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa masih ada rasa
was-was atau perasaan belum yakin untuk mengandalkan secara penuh upaya-upaya
penyelesaian sengketa ditanah air. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur
(yang di sana sini penulis gambarkan pula sebagai mind-set masyarakat terhadap hukum)
musti dan harus terus-menerus dibenahi.
Selagi pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk
penyelesaian sengketa dibidang ini adalah agar para pihak mencoba dengan sungguhsungguh
supaya sengketa tidak timbul. Kalau pun timbul, cara negosiasi, musyawarah
untuk mufakat, win-win solution harus tetap menjadi prioritas utama daripada cara lain
yang tersedia.
7 Kelemahan UU ini antara lain termuat dalam tulisan Penulis: Huala Adolf, “The Indonesian Arbitration
and Alternative Dispute Resolution Act 1999”, 5:2 lnt.A.L.R. (May 2002), khususnya hlm.55

Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase internasional

Penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase internasional
Studi kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company

Bab I
Pendahuluan
Hukum Perdata Internasional adalah termasuk dalam kelompok hukum privat. Karena menyangkut hukum privat, maka Hukum Perdata Internasional tersebut juga mengatur hubungan hukum antar pihak (party) dalam suatu kontrak yang timbul dari hukum perikatan. Hukum Perdata Internasional memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar yurisdiksi dalam satu negara. Menurut S. Gautama , Hukum Perdata Internasional adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan internasional. Yang internasional adalah hubungan-hubungannya, sedangkan kaidah-kaidahnya adalah hukum perdata nasional belaka.
Hukum Kontrak, sebagai bagian dari hukum perdata memiliki beberapa asas yang bersifat universal seperti asas kebebasan berkontrak (party authonomy), kontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, serta asas sepakat. Para pihak yang terlibat dalam kontrak atau perjanjian dimana isi yang diperjanjikan melewati batas satu negara, dalam hal timbul suatu sengketa perlu menetapkan terlebih dahulu cara-cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa adalah dengan arbitrase.
Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Kesepakatan atau aturan main yang perlu disepakati dalam arbitrase tersebut adalah menyangkut pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile).
Namun, sekalipun telah ada penyepakatan di depan atas cara-cara penyelesaian sengketa tersebut, dalam implementasinya tidaklah mudah. Komplikasi yang muncul terutama dari pihak yang tidak menerima hasil arbitrase antara lain adalah menyangkut kompetensi para pihak, kompetensi pengadilan, prosedur (proceedings) beracara, materi yang dipersengketakan, sampai kepada daya eksekusi dari putusan arbitrase tersebut.
Paper ini akan mengangkat kasus kontemporer di Indonesia, yaitu sengketa antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company menyangkut perselisihan sehubungan dengan pemutusan kontrak. Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Kasus ini menarik untuk diangkat, karena selain adanya perlawanan dari pihak yang dikalahkan oleh Pengadilan arbitrase, juga adalah karena timbulnya kasus tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, yang sebenarnya bukan merupakan pihak dalam perjanjian, tetapi dampak kebijakan tersebut mempengaruhi kemampuan pemenuhan isi Kontrak.

Bab II
Landasan teori
2.1 Luas lingkup Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku dan apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga (warga negara) pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa setempat .
Bidang atau ruang lingkup hukum perdata internasional meliputi choice of law + choice of jurisdiction + condition des estrangers + nationalite. Ruang lingkup tersebut menyangkut hukum mana yang diberlakukan untuk menggovern suatu hubungan hukum. Kemudian, setelah itu perlu pula ditetapkan jurisdiksi atau kewenangan hakim dan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili termasuk hukum acara perdata mana yang akan digunakan dalam proceedings persidangan. Selanjutnya bagaimana perlakuan hukum terhadap warganegara yang merupakan party dalam suatu hubungan hukum. Hal yang terakhir yang menjadi cakupan hukum kontrak internasional ini adalah bagaimana meletakkan peran dan interest serta konteks kedaulatan yang melekat (vested-in) dalam pemerintah nasional dalam hubungannya terhadap implementasi kontrak berdimensi internasional.
Dalam skope yang lebih konkrit, Hukum Perdata Internasional meliputi hubungan sehari-hari biasa dimana dua pihak secara subjektif tunduk kepada jurisdiksi hukum yang berbeda. Hubungan sehari-hari tersebut meliputi antara lain jual beli, hukum pernikahan, pinjam meminjam, transaksi dagang, joint venture, management contract, technical assistant agreement, dan lain-lain.
Hukum Kontrak Internasional, sebagai bagian dari hukum perdata Internasional, pada dasarnya adalah hukum kontrak nasional, dimana ada unsur asingnya. Setiap negara memiliki kedaulatan hukum tersendiri, dan tidak ada satu sistem hukum dimana seluruh negara menundukkan diri terhadapnya. Dengan demikian, sistem hukum nasional, termasuk pengaturan dan kedaulatan pemerintah suatu negara dalam mengartikan kepentingan publik, tidak boleh diabaikan dalam membuat suatu kontrak yang berdimensi Internasional. Pendapat Sudargo Gautama yang memandang kontrak internasional sebagai bagian dari sistem kontrak nasional telah diakui sebagai doktrin.
Dalam kontrak kontrak berdimensi internasional, penentuan pilihan hukum (choice of law) adalah sangat penting untuk menghindarkan terjadinya conflict of law, mengingat para pihak yang terlibat, tempat transaksi dan sistem hukum yang terkait berbeda-beda dan bahkan mungkin bertentangan atau berkebalikan antar satu jurisdiksi hukum dengan jurisdiksi hukum lainnya. Bahkan sekalipun choice of law telah ditetapkan dalam suatu kontrak atau perjanjian, hukum perdata internasional tetap menyisakan persoalan-persoalan mendasar dalam proceedings suatu perkara. Hal ini berakar dari perbedaan kualifikasi antara berbagai sistem hukum perdata internasional di dunia. Perbedaan kualifikasi itu terutama terdapat dalam tiga golongan besar, yaitu :
a. Kwalifikasi menurut lex fori (yaitu menurut hukum hakim)
b. Kualifikasi menurut lex causae ( yaitu hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan Hukum perdata internasional yang bersangkuta)
c. Kualifikasi secara otonom (autonomen qualification), berdasarkan “comparative method atau analytical jurisprudence.
2.2 Landasan mengikat arbitrase internasional ke dalam sistem hukum Indonesia
a. Ruang lingkup arbitrase
Pengakuan sistem peradilan di Indonesia akan arbitrase telah berlangsung sejak jaman kolonial. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat pengakuan formal yuridis dalam sistem hukum Indonesia . Jejak aturan-aturan tersebut antara lain dapat dilihat pada pasal 377 HIR, pasal 3 undang-undang no. 4 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman, Undang-undang no. 5 tahun 1968, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) no.1 tahun 1990 dan teranyar dalam Undang-undang no. 30 tahun 1999.
Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Konvensi New York 1958 yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (konvensi atas pengakuan atas pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri) yang telah diterima/ diaksesi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden no. 34 tahun 1981 merupakan pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional di Indonesia .
Pokok-pokok materi yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain adalah :
a. Arti putusan arbitrase asing , yaitu putusan-putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat di mana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang bersangkutan.
b. Asas resiprositas, berarti penerapan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dalam suatu negara atas permintaan dari negara lain, hanya dapat diterapkan apabila antara negara yang bersangkutan telah ada lebih dulu hubungan ikatan bilateral atau multilateral.
c. Pembatasan sepanjang sengketa dagang, negara peserta membatasi penaklukan diri hanya terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, sepanjang mengenai persengketaan perjanjian bisnis dan perdagangan
d. Berbentuk tertulis, yakni perjanjian atau klausula harus ditetapkan secara tertulis
e. Arbitrase memiliki kompetensi absolut, artinya sekali para pihak membuat persetujuan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase, sejak saat itu arbitrase telah memiliki kompetensi absolut untuk memutus persengketaan yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.
f. Putusan arbitrase final and binding, artinya sebagai putusan yang mengikat dan binding serta harus melaksanakan eksekusi menurut aturan hukum acara yang berlaku dalam wilayan negara di mana putusan arbitrase yang bersangkutan dimohon eksekusi.
g. Eksekusi tunduk pada asas ius sanguinis, atau asas personalitas, yaitu tata cara pelaksanaan eksekusi tunduk pada pengadilan di mana permohonan eksekusi diajukan
h. Dokumen yang dilampirkan pada permohonan pengakuan eksekusi, meliputi seluruh dokumen sebagai dasar terbitnya putusan arbitrase tersebut
i. Penolakan eksekusi, dapat dimungkinkan apabila
• Masalah yang disengketakan menurut hukum dari negara di tempat mana permohonan diajukan, tidak boleh diselesaikan menurut forum arbitrase
• Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan kepentingan umum.
Makna arbitrase yang menjadi pilihan para pihak dalam kontrak adalah untuk
• Arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak.
• Arbitrase adalah pranata swasta (private tools) atau ekstra-judisial atau mekanisme penyelaian di luar pengadilan
• Eksistensi arbitrase adalah pada prinsip kemandirian yang dimilikinya
• Sumber atau dasar hukum jurisdiksi dan ruang linbgkupnya adalah ditentukan dan dibatasi oleh kehendak para pihak sendiri, dalam arti para pihak yang bersengketa dapat menentukan sendiri aturan hukum yang akan diberlakukan, dengan prosedur atau hukum acara apa, maupun dapat menyepakati lain dengan cara bagaimana arbitrase dijalankan.
b. Pembatasan terhadap efektivitas arbitrase
Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimaksudkan para pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif. Kesepakatan para pihak tersebut diharapkan tidak akan diingkari – sesuai dengan asas pacta sunt servanda – mana kala ada sengketa, untuk menyelesaikannya melalui jalur arbitrase. Namun demikian, pihak yang dikalahkan dalam arbitrase, sering kali men challenge keputusan arbitrase, baik atas dasar bahwa arbitrase tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan materi yang menjadi objek sengketa, atau para arbiter bertindak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, cover both side atau impartialitas. Lebih jauh lagi, sering keputusan murni bisnis dalam arbitrase, dikaitkan dengan penekanan atau campur tangan politis negara kuat tertentu yang menekan salah satu pihak yang berperkara .
Berdasarkan aturan normatif, apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sesungguhnya tidak ada lagi kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa substansi sengketa tersebut. Namun, dengan berbagai alasan dan pembenaran yang dimungkinkan, sering sekali putusan arbitrase diuji lagi oleh pengadilan negeri di Indonesia, atau eksekusinya tidak dilaksanakan, membuat banyak pihak mempertanyakan efektivitas eksekusi putusan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia. Hal-hal seperti conflict of law, error in persona, mempertanyakan jurisdiksi pengadilan adalah alasan yang legally umum disampaikan para lawyer. Hal ini sering dipelesetkan, bukan merupakan conflict of law, tetapi conflict of lawyer.
c. Celah hukum internasional
Kepentingan umum atau ketertiban umum, itu sendiri mengandung batasan yang sangat longgar, multi tafsir dan dapat berubah menurut waktu dan tempat. Ketertiban umum juga ada yang bermakna internal (internal public order) dan ada juga yang menyangkut international order. Ketertiban umum intern adalah ketentuan-ketentuan yang yang hanya membatasi perseorangan sedangkan ketertiban umum eksternal adalah kaidah-kaidah yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan negara dalam pengertian seluruhnya. Namun dalam implementasinya, hal ini tidak terlalu mudah dibedakan. Setiap negara memiliki aturan, kaidah dan ukuran ketertiban umumnya sendiri. Contohnya, di Mesir adalah hal yang lumrah dan sesuai dengan panggilan nurani pribadi apabila seseorang berpoligami, namun hal itu merupakan pelanggaran ketertiban umum apabila dilaksanakan di Perancis.
Perumusan atau konstruksi hukum pada konvensi New York 1958 mengandung beberapa kontroversi, ambiguitas dan contradictio in terminis dalam klausula-klausulanya. Di satu pihak, konvensi tersebut menegaskan bahwa arbitrasi sebagai extra judicial untuk penyelesaian perkara memiliki kompetensi absolut, namun di sisi lain juga membuka ruang kepada para negara anggota untuk mengesampingkan keputusan arbitrase manakala hal tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, dan memperjanjikan hal-hal yang tidak boleh diperjanjikan menurut hukum negara tertentu (causa tidak halal) . Bahkan sekiranya tidak bertentanganpun dengan aturan hukum materiil di suatu negara, eksekusinya tergantung kepada Pemerintah negara di mana objek sengketa berada.
Apakah kepentingan umum? Kriteria kepentingan umum ini adalah sesuatu yang sangat longgar dan berbeda-beda di masing-masing negara. Bahkan dalam satu negara pun, kepentingan umum dapat berbeda pemahaman dan artinya dalam rentang dimensi waktu, ruang, tempat dan subjek yang berbeda. Karena itu, Tineke Longdong menyarankan agar konsepsi ketertiban umum ini dipergunakan seirit mungkin .
Sedemikian fleksibelnya pengertian kepentingan umum (public policy) tersebut, sehingga dapat mengurangi efektivitas suatu putusan arbitrase. Dalam hal satu negara tidak mengakui hasil suatu putusan arbitrase dengan dalih dan dalil melanggar kepentingan nasional, negara lainnya tidak dapat memaksakan eksekusinya di negara tersebut. Setiap negara memiliki kedaulatan hukumnya masing-masing. Paling jauh yang dapat dilakukan adalah semacam hukuman kolektif yang sifatnya non legal seperti pemboikotan barang dan jasa yang mengalir ke dan dari negara yang bersangkutan, pembatasan quota dan tindakan hostile lainnya. Ditarik dan diperluasnya persoalan bisnis antar entitas non negara menjadi seolah-olah karena faktor pemerintah negara sehingga diarahkan ke hukuman kolektif, adalah karena ada anggapan bahwa tidak dipatuhinya putusan arbitrase oleh para pihak terutama pihak yang kalah adalah sebagian karena campur tangan atau pengaruh negara tuan rumah. Negara dalam hal ini didalilkan memiliki state responsibility kepada warganya.
d. Celah hukum nasional
Apabila diperhatikan nampaknya ada sikap mendua dalam sistem pengadilan di Indonesia untuk dapat menerima kekuatan mengikat yang bersifat final dan mempunyai daya eksekusi atas suatu putusan perkara yang dilakukan melalui arbitrase, terutama oleh arbitrase internasional. Bahkan menurut sistem hukum Indonesia, terhadap arbiter sendiri dapat diajukan tuntutan hukuman.
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Terhadap putusan arbitrase Internasional, Pengadilan hukum di Indonesia dapat melakukan pengingkaran pengakuan (denial of awards) akan substansi yang telah diputus oleh lembaga arbitrase internasional, dan juga terhadap eksekusi (denial of awards) terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah jurisdiksi hukum Indonesia.
Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul arbitrase internasional berbunyi : Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan saja pengadilan berwenang untuk menolak mengeksekusi suatu putusan arbitrase, bahkan memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional.
Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawan sub judul arbitrase nasional, pada pasal 60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa pengadilan Indonesia tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan yang dibuat di negara lain. Dengan kata lain, apabila hendak mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus mengajukan gugatan baru di Indonesia.
Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan pasal 3 Undang-undang No. 30 tahun 1999 menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa rumusan pasal tersebut adalah mendua (ambiguity) dan tidak jelas (unplain meaning).
Kemudian dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no. 30 tahun 1999 mengatur bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Namun, apabila satu pihak menganggap bahwa sengketa perdata mereka adalah sengketa kepailitan berdasarkan Undang-undang nomor 37 tahun 2004, maka pihak tersebut akan melihat ada celah untuk memeriksakan perkara tersebut ke Pengadilan Niaga yang adalah salah satu perangkat pengadilan negeri. Apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pada dasarnya telah terjadi sita jaminan terhadap seluruh kekayaannya, dan dia tidak cakap lagi untuk melakukan perikatan perdata . Seluruh kewenangan pengurusan harta kekayaannya telah beralih kepada kurator. Kurator tidak terikat dengan perjanjian arbitrase yang dibuat semula oleh debitur pailit dengan mitra bisnisnya.
Salah satu contohnya adalah dalam perkara kasasi (perkara no. 019/K/N/1999). Amar putusannya antara lain menyatakan bahwa legal effect arbitrase sebagai extra judicial tidak dapat menyingkirkan kedudukan dan kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan permohonan yang berkategori insolvensi atau pailit berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan insolvensi tersebut bersumber dari perjanjian utang yang mengandung klausa arbitrase.
Betapa dinamis dan fleksibelnya pengertian pelanggaran terhadap ketentuan umum, dan persyaratan causa halal dapat dilihat pada putusan MA No. 1205.K/Pdt/1990, menyangkut suatu kasus impor gula oleh swasta Indonesia dari swasta di Inggeris, dimana dalam kontraknya dinyatakan bahwa sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Namun ketika akan diminta untuk dieksekusi di Indonesia, Pengadilan di Indonesia berpendapat bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena mengandung causa yang tidak halal, dan melanggar ketertiban umum. Ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa pada waktu itu satu-satunya Badan yang diberi kewenangan mengimpor gula adalah BULOG. Pengadilan Indonesia memutuskan bahwa putusan hakim negara lain tidak mempunyai daya ikat di Indonesia. Bahkan karena hanya menyangkut titel eksekutorial, penetapan MA hanya bersifat prima facie, artinya tidak perlu melakukan penilaian hukum atas isi perjanjian yang dibuat para pihak yang bersengketa .

Bab III
Penyelesaian sengketa Pertamina – Karaha Bodas melalui arbitrase internasional
3.1 Uraian singkat kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang berbunyi : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, pada hal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono
3.2 Komentar atas kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Berbeda dengan kasus gula sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya dimana pengadilan Indonesia dengan percaya diri menyatakan bahwa terdapat pelanggaran terhadap causa yang halal dan ketertiban umum, dalam kasus ini hal ketertiban umum tersebut tidak disinggung-singgung. Pada hal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari wilayah hukum dan memasuki wilayah pertimbangan politik, ekonomi dan lain-lain.
Memang dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan apabila pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi sendi azasi hukum nasional, hakim dalam hal-hal pengecualian, dapat mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak tergelincir menjadi kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh Sudargo Gautama diistilahkan dengan chauvinisme yuridis . Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya meng adopt bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan kontekstual, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya .
Beberapa hal yang menjadi catatan Hikmahanto adalah :
a. Dasar Kewenangan Pengadilan di Indonesia
Hikmahanto membedakan antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase sebagai berikut : Terhadap putusan arbitsrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Putusan arbitrase yang dibatalkan, akan menafikan (seolah tidak pernah dibuat) putusan arbitrase tersebut. Dalam hal ini Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara, tetapi hanya terbatas pada memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan putusan arbitrase, seperti pemilihan para arbiter dan pemberlakuan hukum yang dipilih. Dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Sedangkan penolakan putusan arbitrase tidak berarti pengadilan menafikan putusan tersebut, melainkan tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di negara lain masih ada asset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut.
Menurut Hikmahanto, kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk mengadili kasus KBC di Indonesia, harus dipertanyakan. Dalam proses arbitrase paling tidak ada tiga jenis hukum yang berlaku, yaitu hukum material (substantive law), hukum acara yang mengikat (governing/ curial law) dan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa (lex arbitri). Dari ketiga jenis hukum tersebut tidak ada satu jenispun yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara dimaksud. Dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC), hukum yang digunakan adalah hukum Switzerland (Swiss).
b. Upaya hukum yang dilakukan Pertamina
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Hikmahanto berpendapat upaya hukum melalui pengadilan Swiss lah yang benar. Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk melakukan pembatalan Putusan arbitrase Jenewa berdasrkan dua lalasan. Pertaman, Pertamina dan KBC telah menentukan seat arbitrase dalam JOC di Jenewa, dan kedua putusan arbitrase Jenewa di buat di Swiss.
Sebagai pihak yang kalah perlu dipertanyakan mengapa justru Pertamina yang melakukan pendaftaran arbitrase Jenewa di Indonesia. Apabila dimaksudkan untuk melakukan pembatalan agar memenuhi asas pendaftaran sesujai pasal 71 UU 30 tahun 1999, dan alasan tersebut dapat diterima oleh majelis hakim, pendirian yang demikian tidak tepat. Kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase hanyalah yang terbatas pada putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia. Terhadap putusan arbitrase asing, kewenangan yang ada hanyalah terbatas dalam konteks pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan.
Belakangan, memang pendapat Hikmahanto tersebut di atas nampaknya sejalan dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Edward Baldwin et al mencatat, pada akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut di atas, dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas dasar bahwa pengadilan negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa perkara itu, dan juga tidak berwenang untuk memutuskan klaim KBC .
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Hal ini dalam konstruksi hukum dapat dianalogkan dengan adagium umum pada hukum perdata dimana seorang bawahan tidak dapat dipersalahkan dari akibat perbuatannya yang sekedar melaksanakan perintah yang menugaskannya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan hukum dalam Black Law yang menyatakan quicunque jussu judicis allquid fecerit non videtur dolo malo fecisse, qula parere necesse est .

Bab IV
Simpulan
Dari pemaparan dan pembahasan pada bagian sebelumnya, kami dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum Perdata Internasional diperlukan manakala ada hubungan-hubungan hukum antar dua pihak yang tunduk kepada jurisdiksi hukum yang berbeda,
b. Bidang Hukum Perdata Internasional meliputi pengaturan hubungan keluarga (nikah, cerai, waris), hubungan dagang, joint venture, management contract.
c. Arbitrase internasional adalah salah satu metode yang dipilih untuk penyelesaian sengketa dalam hubungan kontrak yang berdimensi perdata internasional
d. Kesepakatan atau aturan main perlu disepakati dalam suatu arbitrase menyangkut pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicile)
e. Asas ketertiban umum dalam prinsip arbitrase Internasional, penggunaan dan penerapannuya harus tetap dalam konteks tujuan para pihak yang dituangkan dalam kontrak.
f. Perkara Pertamina versus Karaha Bodas Company, seyogianya tetap dikontes dan diuji dalam perspektif legal. Adapun kerugian yang timbul pada satu pihak akibat kebijakan Pemerintah, seyogianya hal tersebut diselesaikan dan ditanggungjawabi oleh Pemerintah.
Jakarta, 2007
Sampe Purba

Daftar Pustaka
Buku
Emmy Yuhassaire, ed. , Interaksi antara arbitrase dan proses kepailitan – Prosiding, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, 2005
——————, Transaksi Perdagangan Internasional – Prosiding, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2006
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2007
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas ketertiban Umum & Konvensi New York 1958, PT Citra Aditya Bakti Bandung , 1998
Jurnal
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21 Oktober – November .2002
Undang-undang
Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
Undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kamus
Black’s Law dictionary, fifth ed., West Publishing Co., USA, 1979