Welcome To FadlyFadillah's Site

Kamis, 09 Juni 2011

PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

PENYELESAIAN SENGKETA
DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN

Penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan adalah topik kajian yang
cukup penting. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan keuangan suatu
negara, topik bahasan ini bahkan menjadi relevan. Dalam beberapa kesempatan, penulis
mengemukakan terdapat kaitan erat antara penyelesaian sengketa dengan iklim ekonomi
dan keuangan di tanah air.1
Tulisan ini berupaya memenuhi terms of reference Loka Karya Pembangunan
Hukum Nasional VIII mengenai topik, substansi dan sasaran masalah-masalah bidang
ekuin. Kajian terfokus ke dalam tiga bagian, yaitu sarana penyelesaian sengketa. Bagian
kedua mengupas masalah-masalah yang ditemui. Kajian akan melihat masalah kepastian
hukum dan pemahaman aparat penegak hukun terhadap instrumen-instrumen hukum di
tanah air.
Selanjutnya, bahasan ketiga menekankan aspek-aspek hukum yang dapat
menunjang terlaksananya penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan.
Dalam ketiga kajian tersebut, tinjauan terhadap lembaga arbitrase akan mendapat
tempat yang sedikit lebih banyak. Uraian dalam tulisan inipun dibatasi hanya kepada
penyelesaian sengketa di bidang sengketa bisnis (ekonomi dan keuangan). Penyelesaian
sengketa di luar bidang itu tidak disentuh.
Kesimpulan tulisan ini menegaskan kembali pendapat alm. Prof. Komar
Kantaatmadja, bahwa efektivitas penyelesaian sengketa sangat bergantung pada budaya
hukum masyarakat dalam berperkara.2 Mengingat masih kentalnya budaya hukum ini,
penulis menyimpulkan cara terbaik untuk penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan
keuangan ini adalah menghindari atau mencegah timbulnya sengketa.

A. SARANA
Sarana yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi dan
keuangan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara. Pertama, negosiasi atau alternatif
sengketa (ADR); kedua, arbitrase;dan ketiga melalui lembaga peradilan.

* Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. S1 (SH, Unpad), S2 (LLM, Sheffield), S3
(PhD, Singapore).
1 Lihat misalnya, Huala Adolf, “Beberapa Catatan tentang Arbitrase dalam Millenium Baru”, dalam
Hendermin Djarab, et.al.. Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
2001. hlm. 76. (Dalam tulisan ini penulis mengemukakan ada hubungan erat antara arbitrase dan
penanaman modal asing).
2 Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia” dalam Hendermin
Djarab, et.al., op.cit.. hlm. 96.

1. NEGOSIASI dan ADR
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang
sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di
bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose
tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang
yang memuaskan para pihak.
Menurut hemat penulis, cara penyelesaian sengketa ini sangat cocok untuk
masyarakat bisnis Indonesia. Mayoritas pengusaha Indonesia adalah pengusaha kecil
dan menengah. Pada umumnya mereka tidak terlalu mereka pedulikan kontrak dengan
seksama. Umumnya kalau mereka menandatangani kontrak, mereka kurang begitu peduli
terhadap bunyi klausul-klausul dalam kontrak. Yang penting mereka ada transaksi bisnis.
Dalam benak mereka, cukuplah bagaimana melaksanakan transaksi tersebut.
Mind-set seperti ini terbawa pula ketika ternyata kemudian sengketa mengenai
kontrak lahir. Mereka kurang peduli dengan apa yang ada dalam klausul kontrak. Kalau
ada sengketa, mereka upayakan menyelesaikannya secara baik-baik, secara
kekeluargaan.


2. ARBITRASE
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan
pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul
arbitrase dalam kontrak mereka.
Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer.
Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.3
Tantangan ke masa depan adalah tantangan untuk membuktikan masing-masing
badan penyelesaian sengketa ini. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan badan-badan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah kualitas para arbitratornya. Bagaimana
pun juga, kualitas suatu badan arbitrase akan sangat banyak dipengaruhi oleh kualitas
para arbitratornya.

3. PENGADILAN
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih
adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan.4 Pengusaha
atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan
dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat
umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap
polisi, jaksa, atau pengacara.
3 Komar Kantaatmadja. op.eit., hlm. 44-45 (Beliau mencantumkan pula Pusat Penyelesaian Perselisihan
Bisnis Indonesia (P2BI) dan peran Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
4 Tidak termasuk dalam pembahasan tulisan ini kajian terhadap Pengadilan Niaga.
Dalam jaman krisis ekonomi yang terus berkepanjangan ini, masyarakat (begitupun
masyarakat internasional) masih melihat adanya ketidakpastian dalam proses berperkara
melalui pengadilan. Mereka melihat masih cukup banyak kasus nyata di mana putusan
pengadilan masih belum dapat memberi kepastian, rasa keadilan dan sejenisnya.
Ambil contohnya, kasus sendal jepit bolong, kasus whistle-blower, kasus BLBI, dll.
Putusan kasus sendal jepit bolong dan putusan kasus BLBI sedikit banyak telah
mengkerutkan kening masyarakat. Kok putusan pemakai sandal jepit bolong lebih berat
dibanding dengan putusan terhadap penyalahgunaan dana BLBI yang miliaran rupiah itu.
Harga sepasang sendal jepit bolong paling-paling seharga seribu atau dua ribu perak. Itu
pun kalau mau dihargakan dan ada yang mau beli.
Persepsi masyarakat awam dan pengusaha terhadap performance pengadilan
karenanya perlu ekstra hati-hati diperhatikan. Memang banyak hakim atau para penegak
hukum yang bersih dan lurus. Tetapi masyarakat lebih tertarik atau akan lebih melihat
hakim atau para penegak hukum yang tidak lurus, neko-neko atau korup. Pengadilan
yang bersih dari orang-orang seperti ini adalah tantangan terberat pengadilan dewasa ini.
Tantangan tidak kalah lainnya adalah profesionalisme hakim, termasuk di dalamnya
tingkat pengetahuan mereka terhadap perkembangan hukum yang sangat cepat. Ini
adalah masalah mutu SDM pengadilan. Perkembangan pengetahuan sebagai dampak
dari perkembangan teknologi, informasi, ekonomi dan keuangan telah banyak merubah
teori-teori hukum yang ada pada tahun 1970 atau 1980an. Misalnya, hukum ekonomi,
perbankan dan keuangan tidak semata-mata lagi mengatur hal-hal atau hubunganhubungan
yang bersifat fisik. Sekarang ada ecommerce, e-banking, dan mungkin bentukbentuk
electronic related business activities lainnya yang akan segera menyusul.
Bentuk-bentuk ini pun memberi warna terhadap sengketa-sengketa yang lahir.
Dalam beberapa tahun belakangan ini pengadilan menghadapi kasus-kasus yang relatif
baru. Sengketa mengenai domain name, hacking, pelanggaran merek di internet,
penipuan atau kejahatan yang terkait dengan penggunaan internet, seperti penipuan kartu
kredit dan sejenisnya, angka grafiknya bergerak ke atas. Hal ini menjadi indikasi kuat
bahwa pengadilan perlu menyikapinya dengan cara mempersiapkan diri termasuk
meningkatkan pengetahuannya guna mengantisipasi perkembangan yang teramat cepat
ini.
Selanjutnya adalah gejolak dan dampak globalisasi dan liberalisasi ekonomi
terhadap hukum nasional. Dalam hal ini yang menjadi tantangan adalah perlunya
pemahaman terhadap hukum bisnis atau ekonomi internasional. Termasuk di dalamnya
pemahaman terhadap berbagai konvensi atau perjanjian ekonomi, baik yang telah atau
belum diratifikasi atau perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi.
Perlu pula pemahaman terhadap aturan-aturan kebiasaan internasional yang
mengikat para pedagang. Perlu pula pemahaman mengenai status atau daya mengikat
aturan-aturan hukum ini serta daya mengikatnya aturan-aturan seperti itu terhadap para
pedagang (di tanah air).
Adanya pemahaman terhadap hal-hal tersebut di atas, masalah penerapan hukum
dan persepsi pengadilan terhadap aturan-aturan hukum internasional tersebut dapat lebih
membantu pengadilan dalam memberi putusan hukumnya yang lebih memenuhi
kepentingan dunia usaha.

B. PERMASALAHAN
Penulis melihat adanya 4 (empat) masalah sentral dalam penyelesaian sengketa di
bidang ekonomi dan keuangan.

a. Masalah Penghormatan Terhadap Hukum
Masalah ini adalah sangatlah sentral. Penaatan atau penghormatan terhadap hukum
masih sangat tipis. Penulis melihat mind-set masyarakat terhadap hukum ini harus
diubah secara bertahap, berhati-hati dan terencana. Telah cukup banyak upaya-upaya
akademis atau pengkajian dilakukan. Diperguruan tinggi atau BPHN, sudah banyak
lahir teori-teori mengenai bagaimana penghormatan terhadap hukum ini perlu
dilakukan.

b. Kepastian Hukum
Salah satu hal yang pasti mengenai hukum di Indonesia adalah ketidakpastian hukum.
Masalah ini gawat, kalau darurat. Kasus-kasus yang tergolong besar yang melibatkan
Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian
hukum ini. Sengketa-sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat
internasional, misalnya sengketa Karaha Bodas, antara lain, berawal dari
ketidakpastian hukum ini.

c. Kewenangan dan Putusan Badan Arbitrase
Masalah ini sebenarnya masalah lama. Tetapi masalah ini masih terus berlanjut,
Seakan-akan kontroversi mengenai masalah ini tiada hentinya. Dalam pernyataannya
yang termuat dalam web-site hukum online, Prof. Priyatna Abdurrasyid
mengemukakan bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia
tidak memahami arbitrase (sic!).5

d. Kultur Berperkara Masyarakat
Alm, Prof. Komar Kantaatmadja, melihat kultur masyarakat ini sebagai masalah cukup
krusial dalam penyelesaian sengketa. Beliau mengemukakan 4 (empat) masalah kultur
ini.
Dua di antaranya yang utama adalah keengganan untuk tidak mau melaksanakan
putusan arbitrase. Yang kedua adalah upaya untuk mengulur-ulur waktu sebagai taktik
untuk tidak melaksanakan kewajibannya.6
Penulis pun berpendapat bahwa sengketa-sengketa mengenai pembatalan putusanputusan
arbitrase asing (dan perlawanan terhadap putusan arbitrase domestik), yang
acap timbul belakangan ini, mungkin dapat dipandang ke dalam cakupan kultur ini .
5 http://www.hukumonline.com
6 Komar Kantaatmadja, op.cit.. hlm. 46-47

C. HUKUM YANG MENUNJANG
Sejak bulan Agustus 1999, angin baru datang ke tanah air. Pada waktu itu,
pemerintah mengeluarkan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini membawa dua angin segar. Pertama,
diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar
hukum bagi alternatif penyelesaian sengketa.
Meski cukup banyak kelemahan yang terdapat dalam UU arbitrase baru, namun
demikian aturan-aturan atau prinsip-prinsip dasar di dalamnya sudahlah termuat.7 Prinsip
kekuatan perjanjian arbitrase, kewenangan pengadilan, kebebasan para pihak, prinsip
severabilitas dan pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase sudah termuat di dalamnya.
Satu hal positif dalam UU tersebut adalah diaturnya ketentuan mengenai ADR (pasal
6). Pasal ini penting, ia meletakkan dasar hukum yang tegas bagi dimungkinkannya para
pihak untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan menggunakan cara-cara yang
mereka pilih.

D. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa masih ada rasa
was-was atau perasaan belum yakin untuk mengandalkan secara penuh upaya-upaya
penyelesaian sengketa ditanah air. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur
(yang di sana sini penulis gambarkan pula sebagai mind-set masyarakat terhadap hukum)
musti dan harus terus-menerus dibenahi.
Selagi pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk
penyelesaian sengketa dibidang ini adalah agar para pihak mencoba dengan sungguhsungguh
supaya sengketa tidak timbul. Kalau pun timbul, cara negosiasi, musyawarah
untuk mufakat, win-win solution harus tetap menjadi prioritas utama daripada cara lain
yang tersedia.
7 Kelemahan UU ini antara lain termuat dalam tulisan Penulis: Huala Adolf, “The Indonesian Arbitration
and Alternative Dispute Resolution Act 1999”, 5:2 lnt.A.L.R. (May 2002), khususnya hlm.55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar